MAKALAH KECERDASAN EMOSIONAL SEBAGAI HASIL BELAJAR
MAKALAH
BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
“KECERDASAN EMOSIONAL SEBAGAI HASIL BELAJAR”
Dosen
Maha Lastasa, M.Pd
DISUSUN OLEH
DEVI (F1081151001)
ROHANA (F1081151009)
WIDIYA SARI (F1081151077)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
JURUSAN PENDIDIKAN DASAR
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
TANJUNGPURA
PONTIANAK
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Kecerdasan Emosional Sebagai Hasil
Belajar” ini dengan baik
meskipun banyak kekurangan di dalamnya.
Kami sangat berharap makalah ini
dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai pengertian,
cirri-ciri dan penerapan kecerdasan emosional,. Kami juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna.
Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran
yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat
dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun
ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya.
Pontianak, Maret
2017
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar........................................................................................... i
Daftar Isi..................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang................................................................................... 1
B.
Rumus Masalah.................................................................................. 2
C.
Tujuan................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kecerdasan Emosional..................................................... 3
B.
Ciri-ciri Kecerdasan Emosional......................................................... 5
C.
Emosi dan Kegunaannya................................................................... 9
D.
Kecakapan-kecakapan Emosional ..................................................... 12
E.
Penerapan Kecerdasan Emosional..................................................... 14
BAB III PENUTUP
1.
Kesimpulan........................................................................................ 19
2.
Saran.................................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 21
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam
perkembangan dasawarsa belakangan ini semakin banyak tulisan dan kajian yang
menyorot secara kritis pentingnya peran kecerdasan emosional dalam mewujudkan
keberhasilan atau sukses seseorang. Pandangan sebelumnya yang menempatkan
kecerdasan intelektual (IQ) sebagai satu-satunya prediktor untuk menentukan
keberhasilan seseorang semakin bergeser pada pandangan yang melihat adanya
kecerdasan-kecerdasan lain yang juga tidak kalah pentingnya dalam menentukan
sukses seseorang.
Dengan
mengkaji kecerdasan emosional ini, diharapkan Anda memiliki pemahaman yang baik
sebagai bagian penting dari proses pembelajaran, dan untuk mewujudkan hasil
belajar yang diharapkan. Seperti telah kita kaji bersama bahwa pembelajaran
tidak lagi dipahami sekedar sebagai proses transfer pengetahuan berupa mata
pelajaran atau materi pelajaran kepada siswa. Pembelajaran mendapat tempat yang
lebih luas, harus menjadi wahana untuk penumbuhkembangan potensi-potensi siswa
secara holistik melalui peran aktif mereka menuju perubahan yang lebih baik.
Dalam keadaan ini sangat diperlukan upaya-upaya konstruktif guru dalam
mengembangkan dimensi-dimensi emosional siswa agar mereka semakin mampu
menghadapi berbagai persoalan, bersemangat, ulet, tekun, bertanggung jawab, mampu
menjalin komunikasi secara sehat dengan individu atau kelompok lain. Kesemuanya
ini merupakan akar-akar emosi yang menjadi landasan untuk mencapai sukses yang
diharapkan. Menyadari pentingnya hal ini, maka pada bagian ini Anda diajak
untuk bersama-sama membahas tentang ciri-ciri kecerdasan emosional,
kegunaan-kegunaan emosi, kecakapan-kecakapan emosi, serta penerapan kecerdasan emosional.
B.
Rumusan Masalah
a.
apa yang dimaksud dengan kecerdasan emosional?
b.
Apa cirri-ciri kecerdasn emosional?
c.
Apa saja kegunaan dari emosi?
d.
Bagaimana penerapan kecerdasan emosional?
C.
Tujuan.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata
kuliah Belajar dan Pembelajaran dan untuk menamabah wawasan pembaca mengenai
kecerdasan emosional sebagai hasil belajar
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kecerdasan emosional
Istilah
kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog
Peter Salovey dari Harvard University dan John Meyer dari University of New
Hampshire (Shapiro, 1997:5). Beberapa bentuk kualitas emosional yang dinilai
penting bagi keberhasilan, yaitu: Empati, Mengungkapkan dan memahami perasaan, Mengendalikan
amarah, Kemandirian, Kemampuan menyesuaikan diri, Disukai, Kemampuan memecahkan
masalah antar pribadi, Ketekunan, Kesetiakawanan, Keramahan dan Sikap hormat.
Untuk
memberikan pemahaman dasar tentang kecerdasan emosional, Daniel Golemen,
pengarang buku Emotional Intelligence pada bagian buku yang
diberi judul Working with Emostional mencoba menjelaskan beberapa
konsep keliru yang paling lazim terjadi dan harus diluruskan. Pertama, kecerdasan
emosi tidak hanya berarti “bersikap ramah”. Pada saat-saat tertentu
yang diperlukan mungkin bukan “sikap ramah” melainkan, mungkin sikap tegas yang
barangkali memang tidak menyenangkan, tetapi mengungkapkan kebenaran yang
selama ini dihindari. Kedua, kecerdasan emosi bukan berarti
memberikan kebebasan kepada perasaan untuk berkuasa- “memanjakan
perasaan-perasaan, melainkan mengelola perasaan-perasaan sedemikian rupa sehingga
terekspresikan secara tepat dan efektif, yang memungkinkan orang bekerja sama
dengan lancar menuju sasaran bersama. Tingkat kecerdasan emosi tidak terikat
dengan faktor genetis, tidak juga hanya dapat berkembang pada masa kanak-kanak.
Tidak seperti IQ yang berubah hanya sedikit setelah melewati usia remaja,
kecerdasan lebih banyak diperoleh melalui belajar dari pengalaman sendiri,
sehingga kecakapan-kecakapan kita dalam hal ini dapat terus tumbuh (Goleman,
2000: 9).
Hasil-hasil
penelitian menunjukkan bahwa keterampilan EQ akan mampu membuat anak-anak
bersemangat tinggi dalam belajar, atau untuk disukai teman-temannya di
tempat-tempat bermain, juga akan membantunya dua puluh tahun kemudian ketika ia
telah masuk dalam dunia kerja atau ketika sudah berkeluarga. Dalam sebuah
survei nasional terhadap apa yang diinginkan oleh pemberi kerja baru,
keterampilan-keterampilan teknik khusus tidak seberapa penting dibanding
kemampuan dasar untuk belajar dalam pekerjaan bersangkutan (Goleman, 2000: 19).
Selain itu keterampilan-keterampilan lainnya adalah;
a. Mendengarkan dan
komunikasi lisan
b. Adaptabilitas dan
tanggapan kreatif terhadap kegagalan dan halangan
c. Manajemen pribadi,
kepercayaan diri, memotivasi untuk bekerja meraih sasaran, keinginan
mengembangkan karier dan bangga dengan prestasi yang dicapai
d. Efektivitas kelompok
dan antar pribadi, kerjasama dalam kelompok, keterampilan merundingkan
perbedaan pendapat
e. Efektivitas dalam
perusahaan, keinginan memberi konstribusi, potensi-potensi kepemimpinan.
Salovey
dan Meyer mula-mula mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai “himpunan
bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan
emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya,
dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan”. Pendapat
keduanya memberikan isyarat bahwa keterampilan EQ bukanlah lawan dari
keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara
dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun empirik. Idealnya seseorang
dapat menguasai keterampilan kognitif sekaligus keterampilan sosial emosional.
Barangkali perbedaan paling mendasar antara IQ dan EQ adalah, bahwa EQ tidak
dipengaruhi oleh faktor keturunan, sehingga membuka kesempatan bagi orang tua dan
para pendidik untuk melanjutkan apa yang telah disediakan oleh alam agar anak
mempunyai peluang lebih besar untuk meraih kesuksesan. Dengan demikian maka
kecerdasan emosional lebih merupakan hasil dari aktivitas individu dalam
melatih fungsi-fungsi emosional diri sendiri atau oleh orang lain sehingga
lebih merupakan hasil belajar.
B.
Ciri-ciri Kecerdasan Emosional
Seperti
telah dikemukakan terdahulu bahwa kecerdasan akademik, nilai-nilai intelektual
yang selama ini merupakan sesuatu yang sangat dibanggakan bahkan seakan-akan
menjadi satu-satunya indikator dalam menentukan keberhasilan dan kesuksesan
seseorang semakin diragukan, bahkan menimbulkan kekecewaan pada sejumlah orang.
Prestasi akademik yang tinggi, predikat juara, ternyata tidak cukup mampu
memberikan bekal untuk dapat merespon berbagai gejolak, kesulitan-kesulitan,
dan berbagai dinamika kehidupan lingkungan yang sangat dinamis. Berbagai pihak
mulai memahami bahwa ada sisi lain yang lebih penting atau sekurang-kurangnya
sama kedudukan dan sama pentingnya dengan kecerdasan akademik. Kecerdasan lain
selain dari kecerdasan akademik ini justru lebih banyak menentukan sikap
positif seseorang, kemampuan melihat masalah dengan kelapangan jiwa, kemampuan
mengatasi berbagai konflik internal maupun eksternal, kemampuan mengatasi
kegagalan dan pada akhirnya mencapai kesuksesan. Kecerdasan yang oleh banyak
kalangan akan memberikan kekuatan lebih besar dalam diri seseorang, yang
dinamakan kecerdasan emosional.
Goleman
menggambarkan beberapa ciri kecerdasan emosional yang terdapat pada diri
seseorang berupa
1. Kemampuan
memotivasi diri sendiri;
2. Ketahanan
menghadapi frustasi;
3. Kemampuan
mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan;
4. Kemampuan
menjaga suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir,
berempati dan berdo’a
Kemampuan-kemampuan
ini ternyata mampu memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap diri
seseorang untuk mampu mengatasi berbagai masalah kehidupan.
Kemampuan
memotivasi diri sendiri merupakan kemampuan internal pada diri seseorang berupa
kekuatan menjadi suatu energi yang mendorong seseorang untuk mampu menggerakkan
potensi-potensi fisik dan psikologis atau mental dalam melakukan aktivitas
tertentu sehingga mampu mencapai keberhasilan yang diharapkan. Seperti
diketahui bahwa di dalam diri setiap anak terkandung kekuatan berupa potensi
yang tidak secara otomatis dapat didayagunakan oleh seseorang untuk mencapai
sesuatu.
Walaupun
kemampuan memotivasi diri menjadi sesuatu yang sangat penting sebagai wujud
dari kemandirian anak, namun dalam proses perkembangannya anak masih memerlukan
peran orang tua untuk memfasilitasi peningkatan motivasi mereka. Untuk itu
sebagai orang tua maupun guru dapat membantu mengembangkan kemampuan
menumbuhkan motivasi diri anak melalui:
a. Mengajarkan anak
mengharapkan keberhasilan
b. Menyediakan kesempatan
bagi anak untuk menguasai lingkungannya
c. Memberikan pendidikan yang
relevan dengan gaya belajar anak
d. Mengajarkan anak untuk
menghargai sikap tidak mudah menyerah
e. Mengajarkan anak
pentingnya menghadapi dan mengatasi kegagalan
Dalam
melaksanakan prose panjang kehidupan, bahkan dalam melakukan aktivitas sehari-hari
seseorang tidak mungkin melepaskan diri dari masalah. Kemampuan yang harus
dikembangkan pada setiap anak utamanya bukan kemampuan untuk menghindari
terjadinya masalah akan tetapi kemampuan melihat secara jernih setiap masalah
yang dihadapi, untuk selanjutnya mampu memobilasi kekuatan diri dalam mengatasi
persoalan-persoalan yang dihadapi tersebut.
Kemampuan
menghadapi masalah akan mendorong anak untuk memiliki daya tahan yang lebih
tinggi bilamana suatu saat ia dihadapkan pada persoalan-persoalan yang lebih
kompleks dan rumit yang mungkin menyeret dirinya menjadi frustasi. Bilamana
keadaan yang buruk terjadi, maka anak diharapkan dapat mengendalikan diri,
menata emosinya sehingga tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan
dirinya sendiri maupun orang lain.
Sejumlah
pandangan memberikan saran untuk dapat mengendalikan emosi agar tidak
berkembang kearah negatif antara lain pentingnya pengenalan diri melalui
pemikiran yang jernih untuk menyadari perasaan diri sepenuhnya, tidak tenggelam
dalam permasalahan serta tidak mudah pasrah. Kesadaran diri adalah kecakapan
yang diusahakan untuk diperkuat oleh sebagian besar perangkat spikoterapi,
karena seperti dikemukakan oleh Freud bahwa sebagian besar kehidupan emosional
berada dalam alam bawah sadar; perasaan-perasaan yang
bergejolak dalam diri kita tidaklah senantiasa melintasi ambang
kesadaran.
Upaya
lain yang dapat mengendalikan agar seseorang tidak terjebak dalam kecemasan,
bersikap pasrah atau depresi adalah melawan dorongan hati. Tidak ada
keterampilan psikologis yang lebih penting selain melawan dorongan hati, karena
ia merupakan akar segala kendali emosi, kemudian seseorang harus mempunyai
harapan dan optimisme dalam kerangka bagaimana seseorang memandang keberhasilan
dan kegagalan mereka.
Kemampuan
mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan menjadi ciri
dari kecerdasan emosi. Kematangan berpikir anak, tidak dapat sekedar
ditunjukkan oleh kemampuan nalar, akan tetapi justru lebih banyak ditunjukkan
melalui isyarat-isyarat emosional. Ketika anak menghadapi sukses seringkali
kita melihat mereka mengaktualisasikan dengan sikap yang berlebih-lebihan dan
tidak jarang lupa dengan lingkungannya.
Dalam
pembahasan emosi faktor empati merupakan hal penting yang harus dikembangkan,
karena dengan kemampuan berempati seseorang akan dapat mengetahui bagaimana
perasaan orang lain. Itulah sebabnya Martin Hoffman berpendapat bahwa akar
moralitas ada di dalam emapti, dan dari studi yang dilakukan di Jerman dan
Amerika menemukan bahwa semakin empatik seseorang, maka semakin besar
kecenderungan seseorang mendukung prinsip moral. Dibalik itu ditemukan pula
bahwa orang-orang yang dengan tega melakukan berbagai kejahatan seperti sosiopat ternyata
tidak memiliki empati.
Kemampuan-kemampuan
mengadakan hubungan antar pribadi atau keterampilan sosial perlu
ditumbuhkembangkan pada setiap anak agar mereka secara dini dapat diterima dan
tidak dikucilkan oleh orang lain dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi
terhadap orang lain. Hal ini sangat dimungkinkan untuk dilatih atau diajarkan
melalui aktivitas-aktivitas kongkrit mulai dari hal-hal kecil dan sederhana
yang ada di lingkungan anak.
Kemampuan
menjaga suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan
berpikir juga merupakan salah satu ciri dari kecerdasan emosional. Kemampuan
ini terkait dengan kemampuan mengatasi masalah, karena seseorang yang telah
mampu mengatasi masalah-masalah yang dihadapi akan lebih dewasa dalam
menghadapi persoalan-persoalan yang lebih berat. Ketika seseorang dihadapkan
pada persoalan-persoalan yang berat. Ketika seseorang dihadapkan pada
persoalan-persoalan yang berat, misalnya duka yang sangat mendalam, kekecewaan
yang berat secara tidak sadar emosinya dapat mengalahkan nalar. Bilamana hal
itu terjadi sangat mungkin seseorang melakukan tindakan di luar kontrol
nalarnya yang mungkin dapat merusak keselamatan dirinya.
Dalam
berbagai kasus sering diungkapkan akibat-akibat yang terjadi karena seseorang
tidak mampu mengendalikan suasana hati dalam menghadapi beban stres. Ketika
anak kehilangan orang tua yang sangat ia cintai yang selama ini dirasakannya
sebagai tempat ia harus mengadukan segala persoalan, sebagai penanggung jawab
segala tiba-tiba hilang dalam suatu peristiwa yang tragis, bencana dan
sebagainya. Hal ini tentu menuntut keterampilan emosional yang tinggi untuk
dapat mengendalikan diri.
Goleman
memberikan perhatian yang besar terhadap kebutuhan seseorang untuk mengakui
adanya kekuatan yang lain yang lebih agung, lebih kuasa di luar dirinya. Itulah
sebabnya menurut Goleman kemampuan berdoa juga merupakan ciri yang ada pada
kecerdasan emosional. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional akan dapat
melihat persoalan-persoalan secara jernih, berupaya mengatasi
persoalan-persoalan tersebut dan berharap adanya kekuatan penolong Yang Maha
Pencipta. Adakalanya seseorang yang telah mampu mencapai sukses, kemudian ia
kembali berada dalam kehampaan, tidak mengerti lagi apa yang harus diperbuat.
Kesadaran akan adanya eksistensi berupa kemampuan untuk mampu menemukan arah
kehidupan yang benar ketika dirinya mencapai sukses oleh Ary Ginanjar Agustian
merupakan bentuk kecerdasan melebihi kecerdasan emosional tetapi memadukan dua
kecerdasan tersebut, yang disebutnya Kecerdasan Emosional Spiritual (ESQ).
Ketika seseorang dengan kemampuan EQ dan IQ-nya berhasil mendaki kesuksesan,
acapkali seseorang disergap oleh perasaan ‘kosong’ dan hampa dalam celah batin
kehidupannya. Setelah prestasi puncak dapat dipijak, ketika semua pemuasan
kebendaan telah diraih, setelah uang hasil jerih usaha berada dalam genggaman,
ia tidak lagi tahu ke mana harus melangkah, untuk tujuan apa semua prestasi itu
diraihnya. Di posisi inilah ESQ tampil menjawab. ESQ sebagai sebuah metode dan
konsep yang jelas dan pasti adalah jawaban dari kekosongan batin sang jiwa
(Agustian, 2007).
Pembahasan
berkenaan dengan ESQ merupakan bagian penting untuk dikaji dan dipahami secara
mendalam. Tanpa mengesampingkan eksistensi kajian ESQ, bagian ini lebih
difokuskan pada uraian tentang EQ, dengan melakukan pembahasan bersama tentang
kegunaan dan penerapannya di dalam proses pembelajaran.
C.
Emosi dan Kegunaannya
Kecerdasan
emosi merupakan bagian dari aspek kejiwaan seseorang yang paling mendalam, dan
merupakan suatu kekuatan, karena dengan adanya emosi itu manusia dapat
menunjukkan keberadaannya dalam masalah-masalah manusiawi. Emosi menyebabkan seseorang
memiliki rasa cinta yang sangat dalam sehingga seseorang bersedia melakukan
sesuatu pengorbanan yang sangat besar sekalipun, walau kadang-kadang
pengorbanan itu secara lahiriah tidak memberikan keuntungan langsung pada dirinya
bahkan mungkin mengorbankan dirinya sendiri. Kekuatan emosi seringkali
mengalahkan kekuatan nalar, sehingga ada suatu perbuatan yang mungkin secara
nalar tidak mungkin dilakukan seseorang, tetapi karena kekuatan emosi kegiatan
itu dilakukan, seperti halnya peristiwa dari kasus yang diungkapkan di awal
tulisan Daniel Goleman, dimana karena cinta teramat kuat mendorong orang tua
secara spontan memilih mengutamakan menyelamatkan anak tercintanya mengalahkan
hasrat menyelamatkan diri sendiri.
Para
ahli sosiobiologi menyatakan keunggulan perasaan dibandingkan nalar, sehingga
pada saat-saat tertentu emosi ditempatkan sebagai titik pusat jiwa manusia.
Menurut para ahli tersebut emosi menuntun kita menghadapi saat-saat kritis dan
tugas-tugas yang riskan bila hanya diserahkan kepada otak. Oleh karena itu
pandangan mengenai kodrat manusia yang mengabaikan kekuatan emosi, jelas
merupakan pandangan yang amat picik. Sebutan Homo sapiens,merupakan
hal yang keliru dalam pola pemahaman serta visi baru yang ditawarkan oleh sains
saat ini tentang emosi dalam kehidupan kita. Hal-hal yang berkaitan dengan
pengambilan keputusan dan tindakan, aspek perasaan sama pentingnya bahkan
seringkali lebih penting daripada nalar. Mereka mengemukakan bahwa “kita sudah
terlampau lama menekankan pentingnya nilai dan makna rasional murni yang
menjadi tolok ukur IQ dalam kehidupan manusia, padahal kecerdasan tidak akan
berarti jika tidak didukung oleh kekuatan emosi”.
Karena
emosi merupakan suatu kekuatan yang dapat mengalahkan nalar, maka harus ada
upaya untuk mengendalikan, mengatasi dan mendisiplinkan kehidupan emosional,
dengan memberlakukan aturan-aturan guna mengurangi ekses-ekses gejolak emosi,
terutama nafsu yang terlampau bebas dalam diri manusia yang seringkali mengalahkan
nalar. Pengembangan emosi di kalangan anak-anak akan membantu mereka mengambil
keputusan dan dapat menilai mana sesuatu yang harus dilakukan dan mana tidak
boleh dilakukan. Dengan demikian berarti pula melindungi mereka dari berbagai
propaganda dan slogan yang tidak sesuai dengan diri dan nilai-nilai yang
dianutnya.
Manusia
secara universal memiliki dua jenis tindakan pikiran, yaitu tindakan pikiran
emosional (perasaan) dan tindakan pikiran rasional (berpikir). Kedua cara
pemahaman yang secara fundamental berbeda ini bersifat saling mempengaruhi
dalam membentuk kehidupan mental manusia. Pertama pikiran rasional, adalah
model pemahaman yang lazimnya kita sadari : lebih menonjol kesadarannya,
bijaksana, mampu bertindak hati-hati dan merefleksi. Tetapi bersamaan dengan
itu ada sistem pemahaman yang lain: yang impulsif dan ber-pengaruh besar bila
kadang-kadang tidak logis, yaitu fikiran emosional. Dikotomi emosional/rasional
kurang lebih sama dengan istilah awam antara “hati” dengan “kepala”. Mengatakan
sesuatu yang benar di dalam hati merupakan tingkat keyakinan yang berbeda yang
cenderung merupakan kepastian lebih mendalam daripada menanggapnya benar dengan
menggunakan akal.
Kedua
fikiran tersebut, yang emosional dan yang rasional, pada umumnya bekerja dalam
keselarasan yang erat, saling melengkapi dalam mencapai pemahaman guna
mengarahkan seseorang menjalani kehidupan duniawi. Biasanya ada keseimbangan
antara pikiran emosional dan pikiran rasional, dimana emosi memberi masukan dan
informasi kepada proses pikiran rasional, dan pikiran rasional memperbaiki dan
terkadang memveto masukan-masukan emosi tersebut. Namun pikiran emosional dan
rasional merupakan kemampuan-kemampuan yang semi mandiri, masing-masing
mencerminkan kerja jaringan sirkuit yang berbeda, namun saling terkait di dalam
otak. Di dalam banyak atau sebagian besar peristiwa, pikiran-pikiran ini
terkoordinasi secara istimewa. Perasaan sangat penting bagi pikiran, dan
pikiran sangat penting bagi perasaan.
Jika
dipahami dari struktur biologis, bahwa masalah-masalah emosi adalah bersumber
dari amigdala yang merupakan bagian penting dari otak. Jika amigdala dipisahkan
dari bagian-bagian otak lainnya, maka hasilnya manusia tidank memiliki
kemampuan menangkap makna emosional suatu peristiwa atau yang disebut “kebutaan
afektif”. Dan karena kehilangan bobot emosional, maka peristiwa-peristiwa
menjadi tidak memiliki makna, misalnya menarik diri dari hubungan antar
manusia, tidak lagi mengenali sahabat bahkan ibunya sendiri, tetap pasif
menghadapi kecemasan. Di samping perasaan nafsu juga tergantung pada amigdala.
Amigdala menempati kedudukan strategis dalam kehidupan mental, semacam penjaga
psikologis, ia juga dapat menyimpan ingatan dan reportoar respons, sehingga seseorang
dapat bertindak tanpa betul-betul ia menyadari mengapa dia melakukan sesuatu.
Uraian-uraian
di atas menyiratkan betapa pentingnya keseimbangan antara akal dan emosi,
menyesuaikan kepala dan hati, dan bilamana keseimbangan ini goyah akan terjadi
perseteruan nalar dan perasaan. Yang mendasari semua ini adalah bagaimana
seseorang dapat memahami penggunaan emosi secara cerdas sehingga dia akan dapat
menjalankan aktivitas kehidupannya dengan lebih baik dalam suatu keseimbangan.
D.
Kecakapan-kecakapan Emosional
Upaya-upaya
yang selama ini hampir seluruhnya diarahkan dalam meningkatkan standar
akademis, pada akhir-akhir ini semakin dirasakan kepincangannya. Kecemasan yang
sangat mendalam terhadap diperolehnya nilai-nilai buruk anak-anak dalam
sejumlah mata pelajaran, dikejutkan lagi oleh kecemasan lain yang lebih besar
lantaran banyak kasus siswa yang mengejutkan justru tidak berkaitan dengan
nilai-nilai akademis tersebut, misalnya bagaimana seorang siswa dengan mudah
tega membunuh teman dekatnya sendiri. Kekurangan lain yang menimbulkan
kecemasan lebih besar tersebut adalah buta emosi. Kekurangan baru berupa buta emosi yang
dapat menimbulkan ekses-ekses negatif lebih besar ketimbang rendahnya standar
akademis justru belum dipertimbangkan dalam kurikulum sekolah yang baku.
Tanda-tanda
kekurangan perhatian terhadap aspek emosi terlihat dari banyaknya
peristiwa-peristiwa kekerasan di kalangan siswa, meningkatnya kekacauan masa
remaja dan beberapa eksesperilaku negatif lainnya. Penyebab paling lazim dari
berbagai peristiwa tersebut terutama pada anak-anak adalah penyakit mental,
utamanya berupa gejala-gejala depresi.
Tinjauan
baru terhadap penyebab depresi pada kaum muda menunjukkan dengan jelas adanya
cacat dalam dua bidang keterampilan emosional, yaitu keterampilan membina
hubungan, dan cara menafsirkan kegagalan yang memicu timbulnya depresi.
Beberapa
pendapat menunjukkan menghilangkan atau paling kurang menurunkan depresi pada
anak, antara lain dapat dilakukan dengan mengajarkan cara melihat dan memahami
kesulitan itu sendiri, melatih untuk terampil menjalin persahabatan, bergaul
lebih baik dengan orang tua, dan melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan sosial
yang diminati. Dan yang lebih penting lagi adalah mengubah pikiran-pikiran yang
menekan, yang oleh seseorang pakar depresi (Kovacs) disebut vaksinasi
psikologi.
Cara
yang paling terbaik untuk mencegah terjadinya berbagai
tindakannegatif sebagai dampak dari depresi adalah dengan mengembangkan
keterampilan emosional melalui penemuan ketahanan diri pada anak. Keterampilan
ini mencakup kepandaian bergaul yang membuat orang tertarik pada mereka,
keyakinan diri dan sikap optimis yang terus menerus dalam menghadapi kegagalan
dan kekecewaan, kemampuan untuk dengan cepat bangkit dari kegagalan, dan sikap
santai. Sebuah kemampuan prnting untuk mengendalikan dorongan hati adalah
mengetahui perbedaan antara perasaan dengan tindakan, dan belajar membuat
keputusan emosional yang lebih baik dengan terlebih dahulu mengendalikan
dorongan dan mengidentifikasi konsekuensi sebelum melakukan suatu tindakan.
Pada sisi yang lain perlu penjelasan dan aturan-aturan yang tegas tentang
hak-hak, kewajiban serta segala sesuatu yang dapat merugikan dan membahayakan
diri anak.
E.
Penerapan Kecerdasan Emosional
Dalam
berbagai bentuk kegiatan baik pada perkantoran, pada perusahaan, rumah sakit
penerapan kecerdasan emosional menjadi bagian yang sangat penting. Jika hal itu
dapat diterapkan pada perkantoran atau perusahaan-perusahaan orang-orang merasa
lebih terbuka dan leluasa mengutarakan keluhan-keluhan sebagai kritik yang
membangun, terciptanya suasana dimana keragaman dihargai dan dapat menjalin
jaringan kerja yang efektif. Pada rumah sakit dokter dan perawat mau berempati,
mau menyesuaikan diri dengan pasien dan mau menjadi pendengar dan penasehat
yang baik. Kesemuanya ini menyiratkan betapa kecerdasan emosional itu menjadi
penting untuk diterapkan dalam semua aktivitas yang dilakukan baik secara
pribadi maupun dalam aktivitas-aktivitas kelompok.
Dalam
proses pembelajaran, penerapan kecerdasan emosional dapat dilakukan secara luas
dalam berbagai sesi, aktivitas dan bentuk-bentuk spesifik pembelajaran.
Pemahaman guru terhadap kecerdasan emosional serta pengetahuan tentang
cara-cara penerapannya kepada anak pada saat ini merupakan bagian penting dalam
rangka membantu mewujudkan perkembangan potensi-potensi anak secara optimal. Berikut
bentuk kongkrit upaya mengembangkan kecerdasan emosional anak.
1. Mengembangkan Empati dan Kepedulian
Anak-anak yang
memiliki empati kuat cenderung tidak begitu agresif dan rela terlibat di dalam
kegiatan sosial, misalnya menolong orang lain dan bersedia berbagi. Anak-anak
yang bersikap empati pada umumnya lebih disukai rekan-rekannya dan orang dewasa
serta lebih berhasil baik di sekolah maupun di tempat kerja. Demikian juga
anak-anak yang memiliki empati yang kuat ini memiliki kemampuan lebih besar
untuk menjalin hubungan dengan teman sejawat dan dengan orang lain.
Beberapa
cara yang perlu dilatihkan kepada anak untuk mengembangkan sikap empati dan
kepedulian, antara lain:
a.
Memperketat tuntutan pada anak mengenai sikap peduli dan
tanggung jawab
b.
Mengajarkan dan melatih anak mempraktekkan perbuatan-perbuatan
baik
c.
Melibatkan anak di dalam kegiatan-kegiatan layanan masyarakat
2. Mengajarkan Kejujuran dan Integritas
Menurut Paul Ekman,
penulis buku Why Children Lie, ada bermacam-macam alasan
mengapa anak tidak berkata benar; sebagian dapat dimengerti, sebagian yang lain
tidak. Anak kecil paling sering berbohong dengan maksud untuk menghindari
hukuman, untuk mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan, atau untuk mendapatkan
pujian dari sesama teman. Anak remaja sering berbohong untuk melindungi
privasinya, untuk menguji kewibawaan orang tua dan untuk melepaskan diri dari
rasa malu.
Kebanyakan pengamat
masalah anak-anak menilai bahwa walaupun berbohong pada batas-batas tertentu
dapat dimaklumi dari segi perkembangan anak, namun hal ini dapat menjadi
masalah bila berbohong menjadi kebiasaan atau berbohong dalam hal yang penting
bagi kepentingan diri mereka yang lebih substantive. Di samping itu hasil
penelitian terhadap anak-anak yang sering berbohong menunjukkan bahwa mereka
juga sering terlibat dalam berbagai bentuk perilaku antisosial, termasuk
menipu, mencuri, dan aksi kekerasan. Hal ini terjadi antara lain akibat
kenyataan anak-anak yang suka berbohong biasanya cenderung berteman dengan
anak-anak yang tidak jujur dan mereka mengembangkan kelompok sebaya yang
seringkali memiliki kebiasaan yang sama.
Beberapa hal penting
yang dapat dilakukan guru atau orang tua dalam menumbuhkan kejujuran anak,
antara lain adalah:
a. Usahakan agar
pentingnya kejujuran terus menjadi topik perbincangan dalam rumah tangga, kelas
dan sekolah.
Di dalam kelas, sambil mengajarkan mata
pelajaran-mata pelajaran tertentu kepada anak, guru dapat memasukkan berbagai
cerita yang bermuatan kejujuran. Hal ini dapat dilakukan ketika guru
mengajarkan pada mata pelajaran apa saja. Yang perlu ditekankan kembali bahwa
menanamkan kejujuran kepada siswa tidak hanya menjadi muatan mata
pelajaran-mata pelajaran tertentu saja, atau oleh guru-guru tertentu saja akan
tetapi harus dilakukan oleh semua warga sekolah.
b. Membangun kepercayaan
Membangun kepercayaan anak dapat dilakukan
baik dengan menyampaikan cerita-cerita yang bertemakan saling kepercayaan, atau
melalui berbagai bentuk permainan. Dalam proses pembelajaran di kelas, guru
dapat melatih saling percaya di kalangan siswa melalui kegiatan-kegiatan yang
secara langsung melibatkan peran mereka, misalnya memberikan kepercayaan kepada
siswa untuk menilai pekerjaan-pekerjaan mereka, atau menilai pekerjaan
rekan-rekan siswa yang lain.
c. Menghormati privasi
anak
Menghormati privasi anak berarti memberikan
ruang yang berarti bagi tumbuhnya rasa percaya pada anak dan penghargaan pada
anak. Guru dan orang tua harus berupaya untuk menghargai hal-hal yang mungkin
dapat mengurangi harga diri mereka di depan teman-teman sebaya, orang tua
maupun guru.
3. Mengajarkan Memecahkan Masalah
Dari pengamatan yang dilakukan,
pada umumnya orang tua dan guru kurang memberikan kepercayaan penuh kepada
anak-anak untuk memecahkan masalah. Kebanyakan orang tua begitu cepat
memberikan bantuan kepada anak dalam menyelesaikan sesuatu, padahal bantuan itu
belum betul-betul dibutuhkan. Demikian pula begitu sering orang tua maupun guru
membuatkan suatu keputusan bagi anak-anak, padahal bilamana mereka diberikan
kesempatan dan dorongan yang lebih besar, mungkin sekali mereka mampu memandang
suatu masalah dari segi segala sisi dan memecahkan masalah yang rumit sekalipun
yang sesungguhnya sangat berguna bagi kelangsungan dan kualitas hidup mereka.
Hal sangat penting
yang harus diketahui para pendidik adalah kemampuan memecahkan masalah
merupakan bagian yang menyatu dengan proses pertumbuhan. Pertumbuhan
intelektual dan emosional anak didorong oleh proses pemecahan masalah. Seperti
keterampilan EQ yang lainnya, kemampuan anak untuk memecahkan masalah umumnya
sejalan dengan peningkatan usia.
Anak-anak sanggup memecahkan masalah yang lumayan
rumit bila mereka terbiasa dibimbing menggunakan istilah-istilah yang akrab dan
kongkrit bagi mereka, walaupun seringkali juga gagal menjawab soal yang sama
jika soal itu disajikan dalam bentuk abstrak yang tidak jelas. Oleh karena itu
dalam proses pembelajaran, anak-anak harus sesering mungkin diajak untuk
memecahkan masalah yang sesuai dengan tingkat usia dan pengalaman yang mereka
dapat.
Jika anak dibiasakan
memecahkan masalah, maka berarti guru atau orang tua telah membangun gudang
pengalaman yang kelak dapat mereka gunakan untuk memecahkan masalah-masalah
berikutnya.
Dalam sebuah buku yang
berjudul Becoming A Teacher, Parkey (1997) mengemukakan
bahwa untuk menghadapi tantangan masa depan, siswa akan membutuhkan
pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai di sembilan area kunci yaitu; (a)
kemampuan berbahasa, matematiksa dan sain, (b) keterampilan teknologi baru, (c)
kemampuan pemecahan masalah, pikiran kritis dan kreativitas, (d) kesadaran
sosial, keterampilan berkomunikasi dan membangun sinergisitas kelompok, (e)
kesadaran global dan keterampilan konservasi, (f) pendidikan kesehatan dan
kesejahteraan, (g) orientasi moral dan etika, (h) kesadaran estetika, (i)
pendidikan seumur hidup untuk kemandirian belajar
Jelas sekali bahwa
kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu kompetensi yang harus
diajarkan kepada siswa. Dalam praktik pembelajaran, mengajarkan anak memecahkan
masalah akan lebih baik bilamana juga sekaliguss diajarkan cara-cara berpikir
sistematik. Karena itu langkah-langkah pemecahan masalah berikut sangat tepat
untuk diterapkan, yaitu:
a.
Mengidentifikasi masalah
b.
Memikirkan alternatif pemecahan
c.
Membandingkan alternatif-alternatif pemecahan yang mungkin akan
dipilih
d.
Menentukan pemecahan yang terbaik
Dalam mengajarkan
siswa memecahkan maslah, guru hendaknya memperhatikan secara sungguh-sungguh
pengalaman-pengalaman siswa, terutama sekali di kalangan siswa yang berada pada
jenjang pendidikan yang lebih rendah. Hal ini disebabkan karena anak-anak
belajar memecahkan masalah melalui pengalaman-pengalaman mereka. Upayakan
sedapat mungkin memberikan tantangan untuk memecahkan masalah, tanpa banyak
campur tangan guru. Di samping itu guru perlu mengembangkan suasana yang
mendukung pemecahan masalah tersebut yang memungkinkan mereka merasa lebih percaya
diri serta merasa memiliki keleluasaan dalam mengambil keputusan yang tepat.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Hasil
belajar yang diharapkan dicapai oleh anak adalah terjadinya perubahan secara
holistic. Pandangan yang menitik beratkan hasil belajar dalam bentuk penambahan
pengetahua saja merupakan wujud dari pandangan yang sempit, karena belajar dan
pembelajaran harus dapat meyentuh dimensi-dimensi individual anak secara
menyeluruh, termasuk dimensi emosional yang dalam waktu cukup lama luput dari perhatian.
Hal ini dipandang semakin penting karena dari berbagai hasil penelitian juga
menunjukan bahwa faktor-faktor emosional, antara lain daya tahan, keuletan,
ketelitian, disiplin, rasa tanggung jawab, kemampuan menjalin kerja sama,
motivasi yang tinggi serta beberapa dimensi emosional lainnya. Bahkan sukses
yang dicapai dalam kehidupan yang lebih
luas, terbukti juga lebih banyak ditunjukan oleh kecerdasan emosional
seseorang.
Sebagian
besar ahli yan mengkaji aspek-aspek emosi menyimpulkan bahwa kecerdasan
emosional merupakan hasil dari proses belajar, walaupun beberapa diantaranya
ada yang berpendapat bahwa hal itu dipengaruhi oleh faktor bawaan. Oleh sebab
itu maka melalui kegiatan pembelajaran, guru harus menyediakan atau menciptakan
ruang yang luas dan iklim yang kondusif untuk berkembangnya kecerdasan
emosional anak. Kemampuan guru melatih setiap dimensi-dimensi emosi harus
dipandang sebagai bagian esensial pembelajaran. Dengan demikian berarti pula
perubahan-perubahan yang terjadi pada anak melalaui kegiatan pembelajaran harus
menyentuh dimensi-dimensi emosional ini, bukan hanya dilihat dari perubahan
kognitif belaka.
Penerapan
kecerdasan emosional dapat dilakkukan secara luas dalam berbagai sesi,
aktivitas dan bentuk-bentuk spesifik pembelajaran. Untuk dapat mengembangkan
kecerdasan emosional perlu diawali dengan pemahaman guru tentang kecerdasan
emosional serta pengetahuan tentang cara-cara pencapaiannya. Karena itu penting
bagi guru untuk mengkaji aspek-aspek yang berkaitan dengan emosi, bagaimana melatih
diensi-dimensi emosi melalui proses pembelajaran sehingga diharapkan semuanya
dapat bermuara pada peningkatan potensi-potensi anak secara optimal.
2.
Saran
Sebagai seorang pendidik kita harus
memperhatikan kecerdasan emosional anak, tidak hanya megembangkan kecerdasan
intelektualnya saja karena kecerdasan emosional anak sangat berpengaruh
terhadap kesuksesan anak tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian,
Ary G (2007). ESQ; Emotional Spiritual
Quotien. Rahasia Sukses Membangun
Kecerdasan Emosional dan Spiritual. New Edition. Jakarta: Arga
Aunurrahman.
(2012). Belajar dan Pembelajaran.
Bandung: Alfabeta
Komentar
Posting Komentar